Senin, 04 April 2016

[Book Review] Somewhere Only We Know - Alexander Thian



Judul : Somewhere Only We Know
Penulis : Alexander Thian
Cetakan : Keempat, 2015
Tebal : x + 338 hlm
Penerbit : GagasMedia
Kategori : Novel
ISBN : 979 – 780 – 830 – 0 
    Bisa dibeli di  : bukupedia.com 



Blurb:
“You don’t define love. You just… love.”
-Kenzo-
Menyusuri jalanan Hanoi yang basah, menerobos hujan yang masih turun dengan deras. Gue melangkah tanpa peduli ke mana kaki membawa gue pergi. Lampu kuning jalanan membuat jejak-jejak rintik hujan tampak jelas. Entah karena gue yang delusional atau terlalu romantic menjijikkan, gue setengah berharap dia akan muncul di ujung jalan, bersandar pada tiang lampu, membawa payung, lalu tersenyum melihat gue.
-Ririn-
Kenangan itu masih sejelas dan sebening film yang berformat blu-ray. Gue tertawa kecil ketika membuka pintu taksi, membayangkan wajah aneh Arik sore itu. Dalam perjalanan pulang, gue bermimpi tentang berdansa di awan, sementara kembang api meledak-ledak di sekitar gue dan Arik.
Arik, can we be infinite?
Most of all, is this the love we think we deserve?
***
Bagi Kenzo, cinta ibarat secangkir kopi. Terkadang terasa pahit, tetapi tetap memiliki banyak lapis rasa. Bagi Ririn, kakak Kenzo, cinta hanya memiliki dua rasa; pahit dan manis. Meski Kenzo meyakinkan selalu ada ruang untuk dongeng cinta, Ririn berusaha melupakan cinta karena pahitlah yang mendominasi kisahnya.

Ketika cinta benar-benar ada di hadapan keduanya, mampukan mereka menerima dan memperjuangkannya?

***

“Apa pun yang kita lakukan, pasti ada pengaruhnya untuk orang lain. Mungkin kita merasa yang sudah kita lakukan itu remeh. Kita nggak pernah tahu, hal yang kita anggap remeh ternyata menjadi inspirasi untuk orang lain.”
-Hlm. 128

Pernahkah kalian mencintai seseorang yang belum pernah kalian temui sebelumnya?

Pernahkah kalian pergi ke tempat yang sangat jauh untuk melupakan rasa sakit hati di masa lalu?

Mungkin akan terdengar aneh, namun pada kenyataannya itulah yang dilakukan oleh sepasang kakak beradik Ririn dan Kenzo. Mereka sama-sama dipaksa untuk menyecap pahitnya rasa cinta. Ririn, yang berpacaran dengan pebasket harus menerima kenyataan bahwa kekasihnya itu telah berselingkuh dengan wanita lain. Sama halnya dengan kakaknya tersebut, Kenzo juga harus rela melepas kekasihnya karena telah berselingkuh pada kesempatan pertama.

Tak ingin menderita rasa sakit yang berlarut-larut, Kenzo memutuskan untuk pergi ke Vietnam dan bekerja di Kedutaan Besar Republik Indonesia yang ada di sana. Niat hati untuk melupakan rasa sakit, Kenzo justru kembali ke Indonesia empat tahun setelahnya juga dengan membawa rasa sakit. Menjalani rutinitas selama empat tahun di Vietnam, ia merasa dirinya telah dikhianati oleh kekasih semunya yang bernama Hava. Kekasih semu? Ya, Kenzo berpacaran dengan seseorang yang belum pernah ia temui sebelumnya. Terdengar aneh bukan? Lantas, apa yang membuat ia sakit hati untuk yang kedua kalinya tersebut?

Ririn. Kakak Kenzo itu justru memutuskan pergi ke Nusa Lembongan untuk mencari orang yang selama ini  mampu mengobati rasa sakit hatinya. Silver Shadow. Seorang blogger yang berhasil membuat Ririn move on lewat tulisan dan dongeng indahnya yang ada di blog. Dan, saat mendengar kabar bahwa blogger kesayangannya itu akan ke Nusa Lembongan, Ririn sangat antusias. Ya, memang lebay sekali. Ririn rela pergi jauh-jauh ke Nusa Lembongan hanya untuk membuntuti Silver Shadow yang tengah liburan.

Lantas, bagaimanakah akhir perjalanan Ririn di Nusa Lembongan? Bahagia, atau justru akan pulang membawa rasa sakit yang sama dengan sebelumnya?

Dan, Kenzo. Setelah mengalami sakit hati untuk yang kedua kalinya, apakah ia masih yakin pada sebuah harapan yang nantinya akan menggenapi keping terakhir perjalanan cintanya?

***

“Love isn’t blind. It sees, but it doesn’t mind.”
-Hlm. 165

Bisa dibilang ‘Somewhere Only We Know’ menjadi buku yang masuk ke dalam daftar wishlist-ku. Setelah mendapat buku ini secara cuma-cuma dari Gagas, aku pun sangat excited sekali untuk membacanya. FYI, buku ini merupakan debut fiksi pertama dari koh Alexander Thian. Buat yang kerap berkicau di twitter, pasti tau tentang sosok yang satu ini. Seorang traveller yang juga merangkap menjadi penulis. Koh Alex bisa dibilang cukup berhasil dengan debut non fiksi pertamanya—The Not So Amazing Life of @aMrazing. Tapi, bagaimana dengan debut fiksinya ini? Mari kita ulik buku ini dari segala sisi….

Pada awalnya, saat kali pertama membaca buku ini, aku merasa dibuat bingung dengan alurnya. Terkesan rumit dan berbelit. Ada satu part di mana aku tidak bisa membedakan ‘apakah ini masa lalu atau masa sekarang?’. Alhasil, setelah aku coba memahami dari halaman-halaman sebelumnya, dan meneruskan bacaan, baru aku menemukan jawabannya. Sebenarnya, itu hanya keluhanku di awal saja, selebihnya, menuju halaman-halaman berikutnya, aku mulai bisa menangkap alur ceritanya dengan jelas. Dan, aku cukup menikmatinya.

Buku ini dibuka dengan adegan kocak nan jail dari sepasang kakak beradik yang tak lain adalah Kenzo dan Ririn. Dari situ, aku sebenarnya sudah merasa dibuat nyaman dengan ceritanya. Karena, aku yakin pasti tingkah kakak beradik ini akan kerap mengundang tawa. Dengan penggunaan kalimat sapaan modern ‘lo-gue’ ,aku merasa setiap adegan yang melibatkan kakak beradik ini asyik sekali. Di buku ini, aku juga mendapat dua cerita yang saling bertolak belakang, dengan emosi yang juga berbeda. Diceritakan lewat sudut padang orang pertama melalui dua tokoh sekaligus—Ririn dan Kenzo, penulis membagi cerita menjadi dua bagian. Pertama, cerita tokoh Kenzo tentang kegalauannya, kesedihannya, dan segala sesuatu yang bersifat mellow. Tak jarang pula mengundang rasa prihatin dan simpatik kita. Yang kedua adalah cerita dari sudut pandang Ririn yang terkesan blak-blakan, kocak, ekspresif, dan menghibur. Aku mendapat dua cerita dengan emosi yang bertolak belakang di sini. Ada kalanya aku harus mellow saat membaca kisah Kenzo, dan ada kalanya pula aku ketawa ngakak karena tingkah polah Ririn yang kerap mengundang tawa. Dari situ, aku cukup tahu bahwa penulis juga memiliki sense of comedy yang tinggi.

Selain itu, aku cukup terkejut dengan terungkapnya jati diri Kenzo yang sebenarnya, dan itu ada di awal cerita. Eh tapi nggak terlalu kaget juga sih, soalnya dari sebelumnya aku udah merasa ada yang salah pada diri Kenzo yang memiliki tampilan fisik macho ini. Saat penulis bercerita lewat sudut pandang Kenzo pun, aku merasa kasihan juga risih. Kasihan karena ada satu part di mana Kenzo menyesali takdirnya sebagai kaum minoritas, dan risih karena… you know lah. I’m man, and here, I also forced to feel the love to man because the story of Kenzo. Terlebih, dengan menggunakan sudut padang orang pertama lagi, ough! Jujur, aku lebih suka dan dibuat asyik saat penulis bercerita lewat sudut pandang Ririn. Banyak yang bikin tawa. Salah satu adegan favoritku adalah ketika Ririn curhat ama fulgoso kesayangannya dan hanya direspon dengan kibasan ekornya, hahaha.

Oh iya, saat momen pertama kali Ririn bertemu dengan Arik, menurutku seperti adegan ftv. Ehm, ini sih menurutku. Fase yang sama. Awalnya sebel, benci, lalu ketemu secara tak sengaja di satu tempat dan mulai saling mencintai. Terdengar klise apabila kita sering nonton ftv. Dan ya, harus kuakui… aku sering nonton! #abaikan. Selain itu, aku cukup suka dengan pengkarakteran yang terdapat pada diri Kenzo dan Ririn. Dibilang sama, tidak. Dibilang tidak, ya sama. Aneh juga sih. Mereka sama-sama jail, keras kepala, tapi saat penulis membagi cerita menjadi 2 plot, aku menemukan karakter yang sebenarnya sangat bertolak belakang. Emosiku benar-benar berubah seratus persen setiap pergantian cerita. Aku juga kagum sama koh Alex yang berhasil membagi emosinya antara cerita Ririn dengan kenzo. Hmm.. susah banget itu loh, patut diapresiasi! Apalagi ini debut fiksi pertama.

Soal tokoh, aku sebenarnya penasaran dengan sosok Hava yang sesungguhnya. Aku menganggap Hava di sini sebagai tokoh yang semu. Dibilang ada, tidak. Dibilang tidak, sebenarnya juga ada sih. Penulis tak terlalu mengeksplor tokoh yang satu ini baik dari segi fisik maupun karakter. Emm, sebenarnya sih ada, tapi sedikit banget. Tokoh lain yang ingin aku bicarakan adalah Arik. Sebenarnya, aku tidak terlalu menemukan keistimewaan dan kesan pada tokoh yang satu ini. Fisik yang bagus, atletis, pandai, udah biasa dan nggak terlalu memikat perhatianku. Tapi, aku suka dengan kemampuan mendongeng ala Arik. Kalau kata Ririn, absurd bin ajaib. Aku menilai keistimewaan tokoh Arik ini justru dari kemampuan mendongengnya ini. Selalu suka dengan dongeng-dongengnya. Tokoh yang satu ini memiliki imjinasi yang liar saat mendongeng. Tapi yang perlu aku tanyakan, kenapa banyak dongengnya yang justru berkaitan dengan kesedihan dan air mata?

Di awal tadi, aku sudah menyebutkan bahwa koh Alex ini juga seorang traveller. Hal ini sangat membantu sekali dalam penggunaan seting di novel ini. Lewat tokoh Kenzo, kita diajak menikmati setiap seluk beluk Vietnam dengan deskripsi yang cukup baik. Juga dengan Paris yang digambarkan dengan segala keindahannya. Dan, Ririn, juga tak kalah membawa kita menelusuri Pulau Bali, terutama Nusa Lembongan yang dikunjunginya. Cukup baik sih penggambaran yang diberikan oleh penulis, setidaknya tidak melulu kota metropolitan seperti Jakarta. Hmm, bosan.

Overall, aku cukup suka dengan debut fiksi koh Alex ini. Memberikan kisah cinta dengan segala persepsi dan pandangan yang berbeda di dalamnya. Secara fisik, cover buku ini juga sangat memikat. Hamparan salju dan pohon di sekelilingnya membawa hawa segar dan fresh saat melihatnya. Dan, harus kuakui… buku ini segar luar dalam. Untuk koh Alex, ditunggu buku fiksi selanjutnya, ya.

Terima kasih!

***

“When you’re with someone you really adore, it’s the little things he does for you that matter the most.”

-Hlm. 181

Tidak ada komentar:

Posting Komentar